Laman

Wednesday, December 26, 2012

Cerpen: Surat Terakhir Mama


“BRAKK!!”

Bima mencampakkan tas sekolahnya ke sudut kamar tidurnya dengan kasar. Lalu dengan malas Ia hempaskan tubuh kekarnya ke atas tempat tidurnya yang empuk.

“Bima, keluar nak. Makan dulu.”, terdengar suara seorang perempuan mengetuk pintu kamar Bima dengan sabar, padahal Bima selalu mengacuhkannya.

“Biarin Bima sendirian, Ma!”, ujar Bima sedikit keras, sehingga mampu menghentikan usaha mamanya untuk membujuknya keluar dari kamar.

Seperti inilah sikap Bima kepada mamanya. Ia tidak pernah menganggap mamanya sebagai orangtua, karena Bima menganggap mamanya adalah penyabab kepergian papanya untuk selama-lamanya lima tahun yang lalu. Padahal Bima sangat dekat dengan papanya. Dulu Bima sering mencurahkan isi hatinya kepada papanya, papa Bima adalah sumber inspirasi Bima, dan beliau adalah segala-galanya bagi Bima. Tapi sekarang papanya telah tiada.

Ini semua berawal ketika mama dan papanya bertengkar lima tahun lalu. Saat itu hujan lebat dan Bima sangat ketakutan. Ia mendengar pertengkaran orangtuanya dari dalam kamarnya yang terletak di lantai dua. Kemudian ia mendengar suara pintu depan rumahnya dibuka dengan kasar, lalu papa Bima berlari keluah rumah diikuti tangisan mamanya. Kejadian selanjutnya yang Bima saksikan langsung adalah papanya yang tertabrak mobil di jalan raya di depan rumah Bima.

Selain karena kejadian itu, Bima tidak menyukai mamanya karena keadaan fisiknya. Tubuh mamanya bisa dikatakan terlalu besar untuk ukuran normal. Dan mamanya hanya mempunyai satu mata. Hal ini membuat Bima selalu diolok-olok teman-temannya dari masa kecil sampai saat ini, dan Bima membenci hal itu, Bima benci mamanya.

Bima selalu merutuki dirinya sendiri, mengapa harus dirinya yang memiliki mama seperti itu, sementara hampir semua teman-temannya di sekolah memiliki mama selayaknya mama idaman.


***

“Jadi gimana nih strategi kita buat pertandingan minggu depan?”, Roni, ketua tim basket di SMA Bima bertanya kepada anak buahnya, termasuk Bima, dan membuat mereka memusatkan perhatian kepadanya.

“Kayaknya kita harus bikin strategi yang beda dari tahun kemarin, Ron. Soalnya mereka pasti udah pelajari teknik-teknik kita.”, Bima memberi usulan kepada teman-temannya.

Sedetik setelah itu, dari arah punggung Roni, Bima melihat siluet seseorang tergesa-gesa dengan susah payah berjalan menuju ke tempat Bima dan teman-temannya berkumpul. Bima memicingkan mata untuk memperjelas pandangannya, dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui siapa yang menghampiri mereka. Seseorang itu tidak lain dan tidak bukan adalah mamanya sendiri.

Sudah terbersit dipikiran Bima untuk segera meninggalkan tempat itu secepat yang ia bisa dan berpura-pura tidak mengenal mamanya. Tetapi Bima terpaksa mengurungkan niatnya ketika mamanya menanggil namanya.

“Bima, bekal makananmu ketinggalan di rumah.”, ujar mamanya dengan wajah polos. Bima mengeraskan rahangnya menahan malu saat mamanya mengatakan itu. Wajahnya yang kini mungkin telah menjadi semerah tomat terasa panas karena malu.

Bima menghirup nafas yang dalam untuk menenangkan diri. Ia segera berdiri membelakangi mamanya. “Teman-teman, kita ke kantin, yuk! Hari ini aku yang traktir deh.”, ajak Bima kepada teman-temannya, menghiraukan mamanya di belakang. Tentu saja teman-teman Bima mau. Lalu mereka pun berlarian menuju ke kantin dengan senang.

Dalam perjalanan ke kantin, Roni sengaja berjalan sejajar dengan Bima karena penasaran. “Bim, kamu kenal ibu itu?”, tanya Roni akhirnya.

Nope.”, jawab Bima singkat.

***

Beberapa tahun ini Bima selalu berusaha untuk bisa keluar dari rumah mamanya dan menata hidupnya sendiri. Setiap hari ia bangun di tengah malam hanya untuk belajar. Peralatan komputer yang sebelum ini selalu ia gunakan untuk melakukan hobinya untuk bermain game dan mendengarkan musik, teronggok tak terurus begitu saja di kamarnya. Bahkan ia juga rela meninggalkan hobinya untuk bermain gitar. Gitarnya yang dulu hampir setiap hari dimainkannya, kini telah berdebu dan bersarang laba-laba.
Dan saat ini, usaha Bima ternyata tidak sia-sia. Bima berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di universitas terkenal yang terletak sangat jauh dari kota tempat tinggalnya. Ia bertekad untuk memiliki kehidupan idamannya disana dan tidak akan kembali ke rumah ini.

***

“Papa, besok kita jalan-jalan ke Dream Land, ya?”, pinta Dimas kepada papanya yang sedang sibuk mengoleskan selai ke sepotong roti.

“Besok Papa sibuk, Nak.”, jawab Bima, yang tak lain adalah papa dari Dimas.

“Yaah, Papa!”, seru Dimas kecewa.

“Tok … Tok … Tok …”

Terdengar suara ketukan di pintu depan rumah Bima. Vira, anak pertama Bima, segera berdiri dan berjalan ke pintu depan. “Biar Kakak aja yang buka, Pa.”, ujarnya sambil lalu.

“Pa, di depan ada ibu tua gendut yang aneh. Dia ngeliatin dan senyum sama Kakak seolah udah pernah kenal, padahal Kakak aja gak tau dia siapa. Dia mau ketemu sama Papa katanya. Mungkin mau minta sumbangan.”, lapor Vira beberapa menit kemudian setelah kembali ke ruang makan. “Tapi ibu itu kasihan loh, Pa. Dia cuma punya satu mata.”, lanjutnya.

Bima mengeryitkan keningnya setelah mendengarkan penuturan anaknya. Sepertinya ia mengenal wanita tua yang saat ini berada di teras rumahnya. Jangan-jangan wanita tua itu …

“Yuk, kita lihat kedepan, Pa.”, Ajak Rita, istri Bima, sebelum Bima sempat menyelesaikan dugaannya. Bima hanya bisa pasrah saat tangannya ditarik oleh istrinya.

“DEGG!!”

Bima menahan nafasnya ketika melihat seseorang yang berada di teras rumahnya. Mata Bima terbelalak sesaat, jantungnya berdegup lebih kencang, dan tangannya menjadi dingin. Untung saja istrinya telah melepaskan pegangan tangannya tadi, sehingga tidak ada seorangpun yang menyadari perubahan pada diri Bima. Bima kemudian mengeraskan rahangnya dalam usaha untuk menenangkan dirinya.

“Maaf, ada yang bisa kami bantu, Bu?”, tanya Rita ramah kepada wanita tua itu.

Penampilan wanita itu terlihat sangat kumuh, dengan wajah yang kusam dan pakaian yang sangat kucal. Wanita tua tersebut melihat Bima sesaat dan tersenyum kepadanya, lalu baru memalingkan wajah ke arah Rita. “Maaf, sepertinya saya salah alamat.”, wanita tua itu tersenyum lagi kepada Bima dan Rita, sebelum akhirnya berpamitan.

Setelah wanita tua itu pergi, Bima dan Rita pun masuk ke dalam rumah. “Ibu tadi kasihan sekali ya, Pa?”, kata Rita.

Bima hanya mengangguk singkat. Ia termenung memikirkan wanita tua tadi.  “Tidak salah lagi, wanita tua tadi pasti adalah mama.”, batinnya.

“Ma, Papa berangkat dulu ya.”, Bima mencium kening istrinya saat berpamitan.

“Hati-hati di jalan ya, Pa.”, Rita balas mencium punggung tangan Bima.

Hari ini Bima akan pergi ke kota asalnya, setelah sekitar sepuluh tahun tidak pernah menginjakkan kakinya sama sekali di sana. Hal ini pun sebenarnya dilakukan Bima dengan sangat terpaksa, hanya karena Roni memohonnya dengan sangat untuk hadir ke rumahnya dan menghadiri pesta lajang Roni.

Saat itu tak sedikitpun terbersit di pikiran Bima untuk pulang ke rumah mamanya, meskipun hanya untuk sekedar mengucapkan salam.

***

“Hei, Bima! Ayo sini, silakan masuk!”, sambut Roni ketika Bima sampai ke rumahnya. “Enjoy the party, ya!”, lanjut Roni sambil mamberikan segelas soda kepada Bima, kemudian ngeloyor begitu saja ke lantai dansa, meninggalkan Bima sendirian dibelakangnya.

Rumah Roni sangat ramai dan penuh sesak saat ini. Musik di dalam rumah itu sangat menderu-deru, banyak orang bergoyang sesuka hatinya, dan bir bertebaran dimana-mana. Bima sebenarnya tidak suka dengan hal-hal seperti ini, ia datang kesini hanya karena Roni saja yang meminta. Kemudian Bima pun mencari sofa yang kosong, lalu ia duduk diatasnya.

“Bima!”, tak lama kemudian seseorang berjalan sempoyongan kearah Bima dengan sebotol bir di tangannya. Dia adalah Jim, mantan teman satu tim basket Bima juga, sama seperti Roni.

Gue ikut berduka cita ya, Bro! Mama lo meninggal seminggu yang lalu.”, tembak Jim setengah sadar, sambil menepuk-nepuk bahu Bima.

“Serius lo, Jim?”, tanya Bima tak acuh. Ia pun mendengus.

“Iya, serius gue.”, jawab Jim. “Terus di laci di deket kasurnya ada surat buat lo, nih!”, Jim melanjutkan sambil memberikan sebuah amplop berwarna biru muda kepada Bima. Bima segera membuka amplop tersebut, mengeluarkan secarik kertas di dalamnya, lalu ia pun mulai membaca surat itu.

Nak, saat kamu membaca surat terakhir Mama ini, sudah pasti Mama telah pergi meninggalkan dunia fana  ini selamanya.

Mama mau mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas segalanya. Bima adalah anugerah terindah bagi Mama. Mama sangat bahagia ketika mendengar tangisanmu pertama kali, sesaat setelah Mama berhasil melahirkanmu. Mama selalu bangga kepadamu, Nak. Apalagi ketika kamu lulus SMA dengan nilai luar biasa bagus dan berhasil mendapatkan beasiswa ke universitas besar dan terkenal. Sungguh, rasanya mama adalah ibu terberuntung di dunia saat itu.

Bima mendengus, kemudian menyunggingkan senyum-setengahnya saat membaca awalan surat mamanya yang menurutnya sangat dibuat-buat itu.

Mama mengucapkan selamat kepadamu, Nak. Kamu telah berhasil memiliki istri yang cantik jelita dan anak yang cerdas. Pasti kehidupanmu sangat bahagia dan tentram sekarang.

Oh iya, Mama memohon maaf karena sudah mengejutkanmu dengan mengunjungi kediamanmu tanpa meminta izin terlebih dahulu. Mama juga mau memohon maaf sebesarnya karena Mama dulu selalu menjadi penyebab utama semua teman-temanmu mengolok-olokmu. Maafkan Mama yang selalu menyusahkanmu. Mama yang waktu itu menyebabkan papa meninggalkan kita selama-lamanya.

Bima menggertakkan rahangnya menahan emosi yang hampir meluap ketika membaca tulisan mamanya yang mengungkit-ungkit masalah papanya, mengoyak luka lama yang sebenarnya sudah sedikit menutup.

Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, Bima. Satu hal yang belum pernah Mama ceritakan kepadamu, dan Mama meminta maaf karena belum sempat menceritakannya kepadamu. Dulu waktu masih berumur dua tahun, Bima pernah mengalami kecelakaan dahsyat, dan menyebabkanmu kehilangan salah satu organ penglihatan. Mama sangat tidak mau kamu tumbuh besar hanya dengan satu mata, pasti teman-temanmu akan mengucilkanmu. Jadi saat itu Mama membuat keputusan bulat bahwa Mama akan memberikanmu salah satu mata Mama, meskipun sebenarnya saat itu papamu menyetujuinya dengan berat hati.

Mama sangat bahagia, meskipun jiwa dan raga Mama telah meninggalkan kehidupan dunia ini selamanya, Mama tetap dapat melihat keindahan dunia melalui mata Mama yang Bima gunakan. Semoga Mata Mama tidak menyusahkan Bima dan selalu memberikan manfaat besar untuk Bima. Dan Mama pasti akan selalu mendoakan kebahagiaan dan kesuksesan selalu untuk Bima.

Salam cinta ,
Dari Mamamu yang selalu menyayangimu

Tak terasa setetes air mata Bima meluncur begitu saja setelah membaca paragraf terakhir dari surat mamanya. Hatinya mencelos, serasa sebagian besarnya hancur lebur dan meninggalkan lubang menganga disana. Semua hal di sekelilingnya seolah-olah hilang begitu saja, yang tertinggal hanyalah dirinya, detak jantungnya yang berdebar sangat cepat, dan penyesalan yang teramat sangat besar, melebihi seluruh penyasalan yang pernah dirasakannya.

“Mama…!!!”, Bima berteriak frustasi sekencang yang ia bisa. Air matanya sudah mengalir deras bak bendungan yang bocor.

Bima menangkupkan kedua tangannya di wajahnya dan menangis sekencang-kencangnya diantara hiruk-pikuk dentuman musik di rumah Roni, tersadar sepenuhnya bahwa penyesalannya ini adalah sia-sia karena saat ini semuanya sudah terlambat.

~THE END~

No comments:

Post a Comment

Newer Post Home Older Post