Laman

Sunday, June 29, 2014

Fanfiction : Aishiteru, Kinal!

Hallo! :D

Sekarang Mistel mau nge-share fanfiction / cerpen tentang Kinal! x3 Sebenernya Mistel buat cerpen ini sekitar setahun yang lalu, sih, dan mungkin agak sedikit absurd xD Tapi mohon dimaklumin yah :B haha. Happy reading~


----------------------------------------------------------------------------------------------


Suara derap kaki yang terdengar buru-buru menaiki tangga dan gedoran pintu yang cukup bertenaga itu telah sukses menggugah Rinal dari mimpi indahnya. Ia memaksakan membuka matanya yang seolah diberi perekat itu dan segera melihat jam beker di samping tempat tidurnya. Pukul 04.00 dini hari. Siapa sih yang pagi-pagi begini sudah bangun? Pikirnya.

“Kak Rinal, Kak Rendy, tolong bukain pintunya, dong!” ternyata itu Shilla, adik bungsu Rinal.


Rinal sebenarnya malas sekali bangun dari tempat tidur, badannya masih capai sekali. Tapi daripada nanti si bungsu itu ngambek tidak karuan seperti biasa saat keinginannya tidak terpenuhi, terpaksa Rinal pun menyingkap selimut hangatnya dan segera membukakan pintu untuk adiknya itu.

“Ngapain sih, Shil, pagi-pagi begini sudah ribut?” ujar Rinal lirih setelah membuka pintu sedikit dan melongokkan kepalanya keluar.

Shilla yang ternyata telah memakai pakaian bepergian yang trendy itu menghiraukan pertanyaan kakaknya, sedikit berjinjit untuk melongokkan kepalanya ke dalam kamar, mencari-cari keberadaan Rendy.

“Ya ampun, Kak Rendy masih tidur?!” pekiknya heran kemudian langsung mendorong pintu yang sedikit di tahan Rinal dan memaksa masuk ke kamar kedua kakaknya itu.

“Kak Ren, bangun dong! Kemarin sudah janji mau nganterin aku, kan? Nanti kalo kesiangan macet, loh!” Shilla mencoba membangunkan Rendy sambil menggoyah-goyahkan tubuh Rendy. Tapi hasilnya nihil.

Merasa salah strategi, Shilla pun mencoba cara lain. Ia mengambil segelas air yang kebetulan ada di atas meja, lalu menyiramkannya ke muka Rendy. Rendy pun sontak gelagapan bangun, terduduk dan menolah ke kanan serta ke kiri secara sigap seolah ada maling yang masuk ke kamarnya.

Tersadar dengan ketiadaan maling, Rendy mengerjapkan matanya dua kali, melihat Shilla berdiri berkacak pinggang di samping tempat tidurnya, dan langsung teringat akan janjinya pada adiknya itu.

“Kakak mandi sekarang!” serunya sambil mengacungkan telunjuk, tepat saat Shilla membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Kemudian Rendy segera masuk ke kamar mandi dan membuat ekspresi Shilla sedikit tenang.

Sementara Rendy sudah menghilang dari pandangan, Rinal mengikuti Shilla yang untuk duduk di pinggiran tempat tidur Rendy. Meskipun sebenarnya masih mengantuk, ia ingin duduk sebentar dengan Shilla, penasaran terhadap apa yang akan dilakukan kedua adiknya itu.

“Kalian mau ke mana, sih?” tanya Rinal membuka percakapan.

Shilla mengengeluarkan Galaxy Note dari dalam tasnya sebelum menjawab pertanyaan kakaknya. “Oh, itu. Kemarin Kak Rendy sudah janji sama aku kalo dia mau nganterin aku beli tiket konser, sekalian nemenin lihat konsernya besok rabu.” jawab Shilla sembari mengecek timeline twitternya.

“Konser siapa memangnya, sampai kalian rela berangkat pagi-pagi begini?”

“Konser JKT48, Kak. Ini bukan masalah konser siapanya, tapi jarak dari Bogor ke Jakarta kan lumayan, takut kesiangan ntar.”

“Oh, gitu. Hati-hati aja deh, Shil.” pesan Rinal sedikit acuh sambil mengacak rambut Shilla, lalu berdiri dan berjalan menuju kasurnya lagi.

“Kakak gak mau aku belikan tiket sekalian? Biar kita bisa nonton bertiga.” tawar Shilla kepada kakaknya, melihat tanggapan kakaknya yang biasa saja saat mendengar nama idol group yang sedang naik daun itu.

Pertanyaan Shilla hanya dijawab sambil lalu dengan lambaian tangan dari Rinal. Detik berikutnya, Rinal telah membenamkan diri di dalam selimut hangatnya lagi dan segera masuk ke alam mimpi.

***

“Nal, lu dimana sih?” suara Fara langsung menyambut di ujung telepon tepat saat Rinal selesai memarkirkan Honda Jazz berwarna biru metallic-nya di area parkiran Bandara Soekarno-Hatta. Sore itu Fara meminta tolong Rinal untuk menjemputnya yang baru saja pulang dari Jogjakarta.

“Baru dapet parkiran nih, Kak. Kakak di terminal berapa?” tanya Rinal sambil berjalan menjauhi mobil, menuju gedung utama.

“Terminal 1A, Nal.”

“Oh, wait a minute ya, Kak. Mobil aku tadi parkirnya di depan terminal 1B soalnya.”

“Oke, jangan lama-lama, ya! Bawaan gue lumayan banyak, nih.”

“Sip, Kak!” Rinal mengakhiri sambungan telepon itu dan langsung bergegas menuju terminal 1A.

Di tengah jalan, tiba-tiba Rinal merasa haus, dan memutuskan berhenti sejenak untuk membeli minuman di mesin penjual minuman otomatis di dekat situ. Rinal mengeluarkan dompetnya untuk mengambil uang lima ribu rupiah dari dalamnya, lalu langsung memasukkannya ke dalam mesin itu.

Setelah mendapatkan minuman yang dikehendakinya, Rinal cepat-cepat membuka tutup botolnya lalu meminumnya. Rasanya segar sekali ketika cairan itu membasahi kerongkongan Rinal yang tadinya kering itu. Teguk demi teguk terus Rinal nikmati sampai tanpa sengaja matanya menangkap angka yang ditunjukkan jarum panjang di jam tangan yang melekat di tangan kanannya. Sudah lewat lima menit dari saat pertama ia sampai ke mesin penjual minuman otomatis itu! Kakaknya pasti marah sekali jika menunggu Rinal terlalu lama.

Rinal buru-buru membalikkan badannya dan bermaksud mengambil langkah seribu menuju tempat kakaknya. Tapi baru saja dua langkah diambilnya, tiba-tiba …

BRUGH!!

Tanpa ia duga, ia bertabrakan dengan seseorang. Tidak, mungkin lebih tepatnya adalah seorang wanita. Karena postur tubuhnya yang lebih besar, Rinal hanya sedikit terdorong ke belakang, sementara gadis itu jatuh terjengkal hingga bertumpu pada kedua sikunya akibat dari tubrukan itu.

“Aduh!” erang gadis itu. Rinal panik melihat orang yang bertabrakan dengannya itu jatuh dan langsung menarik tangan gadis itu untuk membantunya berdiri.

Detik-detik membantu gadis itu berdiri terasa berjalan lambat bagi Rinal. Rinal menyempatkan diri memperhatikan gadis itu. Gadis itu memakai kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang lumayan mancung, rambutnya yang kira-kira sebahu dengan poni rata sampai alis itu dikuncir kuda dan ditutupi oleh topi bisbol berwarna hijau lumut. Rinal menduga tinggi gadis itu sekitar 164 cm ketika gadis itu telah berdiri sempurna.

Rinal belum melepaskan genggamannya dari tangan putih mulus milik gadis itu saat tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Bibir yang terletak di atas dagu yang agak runcing itu ujungnya sedikit melengkung ke atas bahkan sebelum gadis itu tersenyum! Manisnya, pikir Rinal.

Selanjutnya Rinal memperhatikan bibir itu bergerak terbuka dan menampakkan sesuatu yang makin membuat Rinal menahan napas, yaitu bahwa gigi taring bagian kanan atas gadis itu adalah gigi gingsul! Rinal selalu saja luluh dengan gadis bergigi gingsul, senyumnya pasti manis sekali. Rinal merasa gadis itu mengucapkan sesuatu, mungkin semacam ‘Terimakasih’, tapi entahlah, Rinal terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

 Satu detik telah berlalu sampai akhirnya gadis itu menarik tangannya dari tangan Rinal dan membuyarkan lamunan Rinal.

Sorry ya, aku gak sengaja nabrak kamu, aku lagi buru-buru.” terang gadis itu sambil nyengir merasa bersalah. Ternyata benar dugaan Rinal, senyum gadis itu begitu indah.

“Terimakasih sekali lagi. Aku harus pergi sekarang.” kata gadis itu lagi, yang hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Rinal yang masih belum bisa berkata-kata dan sesaat setelahnya gadis itu telah bergegas pergi ke arah yang berlawanan dari Rinal, meninggalkan Rinal masih dengan tatapan penasarannya.

***

“Woy!! Ngelamun aja, Nal, siang-siang begini!” Rinal tersentak oleh seruan Rendy.

“Ah, lu ngagetin aja, Ren. Gak seru, nih!” sahut Rinal sewot.

“Emang lagi ngelamunin siapa, sih, sampe sewot begitu? Lu punya gebetan baru, ya? Kok gak cerita-cerita, sih, sama adik-beda-tiga-menit lu yang ganteng ini?” Rendy asal cecar tanpa ampun sambil menyalakan televisi di hadapan mereka.

“Apaan, sih? Kagak, kok!” elak Rinal dengan gelengan kepala, sementara Rendy hanya terkekeh sambil mengacak rambut Rinal.

“Wuih, ada JKT48 di infotainment! Pasti ini wawancara masalah konser kemarin lusa, deh!” seru Rendy bersemangat.

“Senang banget, deh, yang begituan.” cibir Rinal.

“Elah, payah lu, ah! Katanya salah satu mahasiswa Sastra Jepang terbaik, masa kagak suka musisi berbakat beraliran J-pop kayak mereka, sih?” Rendy balas menyindir.

“Apa iya? Paling juga sama kayak girlband Indonesia yang lain.” bantah Rinal.

“Mereka bukan girlband, tapi idol group! Tolong dibedakan ya, bro!” tegas Rendy.

Whatever you call, lah!” pungkas Rinal acuh yang disambut dengan putaran mata Rendy. Lalu Rinal kembali fokus ke komik yang tadi dibacanya.

“Lu liat deh, tuh, manisnya Captain Kinal!” Rendy berseru dengan semangat sambil menunjuk televisi, saat melihat orang yang dipanggil Captain Kinal itu sedang bericara.

Mata Rinal secara spontan mengikuti arah yang ditunjuk oleh telunjuk Rendy. Sesaat ia melihat sosok yang berada di televisi itu. Detik berikutnya ia berniat mengalihkan pandangan ke komiknya lagi, tetapi memori di otaknya tiba-tiba mengindikasikan sesuatu yang janggal.

Kemudian Rinal memfokuskan pandangan kepada sosok di televisi itu. Rinal merasa mengenalinya. Poninya, hidungnya, dagunya, bibirnya, senyumnya, gingsulnya mengingatkan Rinal pada seseorang ... Ya! Gadis yang tidak sengaja menabraknya di bandara! Tapi kali ini tanpa kuncir kuda, kacamata, dan topi bisbol. Ternyata makin manis saja.

“Dia pernah nabrak gue di bandara.” celetuk Rinal dengan cengiran misteriusnya.

“Dia siapa maksud lu?” tanya Rendy.

“Cewek itu, tuh.” jawab Rinal sembari mengedikkan dagunya ke arah televisi.

“Cewek itu?” Rendy menunjuk kearah televisi. “Kinal maksud lu?” sambung Rendy mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi heran bercampur geli.

“Mm-hm.” Rinal mengangguk mantap, tapi Rendy malah menoyor kepalanya.

“Jangan kebanyakan ngayal, deh, kakak-beda-tiga-menit gue yang jayus!” Rendy menolak mentah-mentah cerita Rinal dan memilih untuk kembali menonton televisi.

Rinal sangat tahu dan yakin, Rendy pasti tidak akan percaya begitu saja dengan ceritanya. Tapi saat ini ia tak mempedulikan itu, karena sekarang yang bisa ia rasakan hanyalah perasaan bahagia yang membuncah di dalam dadanya.

***

Rinal memarkirkan sepeda motornya di depan sebuah kafe. Siang ini ia ingin bersantai sejenak sambil menunggu jam kuliah selanjutnya yang akan diajarkan oleh dosen yang lumayan killer.

Kaki kanan Rinal baru saja melangkah masuk ke dalam kafe itu, akan menuju ke tempat favorit Rinal di pojok sedikit ke belakang, saat ekor mata Rinal menangkap sosok yang memenuhi benaknya belakangan ini. Rambut sebahu itu, hidung itu, bibir itu, dagu itu. Rinal sontak merasa sangat bahagia hingga melupakan niat awalnya, kemudian justru menghampiri gadis itu.

Rinal memburu langkahnya. Dadanya berguncang keras seolah sedang terjadi perang, tapi ia bertekad bulat. Ia merasa ada yang harus disampaikannya pada gadis itu. Meskipun ini terdengar konyol, ia harus tetap percaya diri untuk melakukannya.

Senyum lebar penuh keyakinan menghiasi wajah Rinal saat akhirnya ia berdiri sekitar satu meter di samping gadis itu. Ia yakin dirinya mampu melakukannya dan saat itulah ia menyentuh pundak gadis itu lalu memutarkannya sehingga tubuh dan wajah gadis itu menghadap ke arahnya. Inilah saatnya! Batinnya menyemangati diri.

“Aishiteru, Kinal.” ucapnya mantap dengan tatapan berbinar lurus langsung ke mata gadis di hadapannya. Sementara gadis itu, hanya menanggapinya dengan kalem, dengan senyum manis yang membuat seluruh organ-organ tubuh Rinal serasa lumpuh.

Sayangnya cerita ini ternyata tidak semulus yang ada dalam rencana Rinal. Rinal tidak memperhatikan bahwa gadis itu tidak sendirian berada di tempat itu, dan sekarang orang yang bersama gadis itu sedang mengangkat gelas minumannya hendak mengayunkannya ke arah Rinal, kemudian …

BYURR!!

Rinal terbangun paksa dari mimpi siang bolongnya oleh siraman segelas air mineral langsung dari dosen yang sedang mengajar kelasnya siang itu. Ia spontan mengambil napas panjang karena kejutan tidak menyenangkan itu, kedua matanya yang masih merah itu sontak terbuka lebar. Dosennya yang satu itu memang sangat tidak suka dengan mahasiswa yang tidur saat ia mengajar.

Setelah nyawanya terkumpul penuh, barulah Rinal sadar bahwa teman seisi kelasnya sedang menertawakan kecerobohan dirinya, tapi Rinal mencoba tidak peduli dengan semua itu. Ia kemudian berpangku tangan dengan lesu, menatap kosong ke arah papan tulis di depan kelas, sementara pikirannya sama sekali tidak ada di kelas itu.

Ternyata kejadian menyenangkan tadi hanya di mimpi saja? Pikirnya. Rinal pun memhela napas panjang lalu berkhayal. Hmm, Rinal dan Kinal, mungkinkah kita berjodoh?

No comments:

Post a Comment

Newer Post Home Older Post